Author:
Naim Emel Prahana
Alkisah, di sebuah daerah di Bengkulu, Indonesia, berdiri sebuah
kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano.
Raja Bikau Bermano mempunyai delapan orang putra. Pada suatu waktu, Raja
Bikau Bermano melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama
Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama
Putri Jinggai. Mulanya, pelaksanaan upacara tersebut berjalan lancar.
Namun, ketika Gajah Meram bersama calon istrinya sedang melakukan
upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket yang berada di
tepi Danau Tes, tiba-tiba keduanya menghilang. Tidak seorang pun yang
tahu ke mana hilangnya pasangan itu.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano dan permaisurinya mulai
cemas, karena Gajah Meram dan calon istrinya belum juga kembali ke
istana. Oleh karena khawatir terjadi sesuatu terhadap putra dan calon
menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa orang hulubalang untuk
menyusul mereka. Alangkah terkejutnya para hulubalang ketika sampai di
tepi danau itu tidak mendapati Gajah Meram dan calon istrinya. Setelah
mencari di sekitar danau dan tidak juga menemukan mereka berdua, para
hulubalang pun kembali ke istana.
“Ampun, Baginda! Kami tidak menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai,”
lapor seorang hulubalang.
“Apa katamu?” tanya sang Raja panik.
“Benar, Baginda! Kami sudah berusaha mencari di sekitar danau, tapi kami
tidak menemukan mereka,” tambah seorang hulubalang lainnya sambil
memberi hormat.
“Ke mana perginya mereka?” tanya sang Raja tambah panik.
“Ampun, Baginda! Kami juga tidak tahu,” jawab para utusan hulubalang
serentak.
Mendengar jawaban itu, Raja Bikau Bermano terdiam. Ia tampak gelisah dan
cemas terhadap keadaan putra dan calon menantunya. Ia pun berdiri, lalu
berjalan mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah
memutih.
“Bendahara! Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana sekarang
juga!” titah sang Raja kepada bendahara.
“Baik, Baginda!” jawab bendahara sambil memberi hormat.
Beberapa saat kemudian, seluruh hulubalang dan keluarga istana berkumpul
di ruang sidang istana.
“Wahai, rakyatku! Apakah ada di antara kalian yang mengetahui keberadaan
putra dan calon menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano.
Tidak seorang pun peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana
sidang menjadi hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang tun tuai
(orang tua) kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri yang juga
hadir angkat bicara.
“Hormat hamba, Baginda! Jika diizinkan, hamba ingin mengatakan sesuatu.”
“Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan putraku dan
Putri Jinggai?” tanya sang Raja penasaran.
“Ampun, Baginda! Setahu hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik
oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes,” jawab tun tuai itu
sambil memberi hormat.
“Raja Ular itu sangat sakti, tapi licik, kejam dan suka mengganggu
manusia yang sedang mandi di Danau Tes,” tambahnya.
“Benarkah yang kamu katakan itu, Tun Tuai?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda!” jawab tun tuai itu.
“Kalau begitu, kita harus segera menyelamatkan putra dan calon
menantuku. Kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan ini,” ujar sang
Raja.
“Tapi bagaimana caranya, Baginda?” tanya seorang hulubalang.
Sang Raja kembali terdiam. Ia mulai bingung memikirkan cara untuk
membebaskan putra dan calon menantunya yang ditawan oleh Raja Ular di
dasar Danau Tes.
“Ampun, Ayahanda!” sahut Gajah Merik, putra bungsu raja.
“Ada apa, Putraku!” jawab sang Raja sambil melayangkan pandangannya ke
arah putranya.
“Izinkanlah Ananda pergi membebaskan abang dan istrinya!” pinta Gaja
Merik kepada ayahandanya.
Semua peserta sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah
mengira sebelumnya jika putranya yang baru berumur 13 tahun itu memiliki
keberanian yang cukup besar.
“Apakah Ananda sanggup melawan Raja Ular itu?” tanya sang Raja.
“Sanggup, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Apa yang akan kamu lakukan, Putraku? Abangmu saja yang sudah dewasa
tidak mampu melawan Raja Ular itu,” ujar sang Raja meragukan kemampuan
putra bungsunya.
“Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada Ayahanda, Ibunda, dan
seluruh yang hadir di sini. Sebenarnya, sejak berumur 10 tahun hampir
setiap malam Ananda bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajari
Ananda ilmu kesaktian,” cerita Gajah Merik.
Mendengar cerita Gajah Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap
putra bungsunya yang sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu
yang tinggi, ia tidak pernah memamerkannya kepada orang lain, termasuk
kepada keluarganya.
“Tapi, benarkah yang kamu katakan itu, Putraku?” tanya sang Raja.
“Benar, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Baiklah! Besok kamu boleh pergi membebaskan abangmu dan istrinya. Tapi,
dengan syarat, kamu harus pergi bertapa di Tepat Topes untuk memperoleh
senjata pusaka,” ujar sang Raja.
“Baik, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
Keesokan harinya, berangkatlah Gajah Merik ke Tepat Topes yang terletak
di antara ibu kota Kerajaan Suka Negeri dan sebuah kampung baru untuk
bertapa. Selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik bertapa dengan penuh
konsentrasi, tidak makan dan tidak minum. Usai melaksanakan tapanya,
Gajah Merik pun memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai
selendang. Keris pusaka itu mampu membuat jalan di dalam air sehingga
dapat dilewati tanpa harus menyelam. Sementara selendang itu dapat
berubah wujud menjadi pedang.
Setelah itu, Gajah Merik kembali ke istana dengan membawa kedua pusaka
itu. Namun, ketika sampai di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa
prajurit istana sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka
Negeri. Oleh karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik
langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil
memegang keris pusakanya. Ia heran karena seakan-seakan berjalan di
daratan dan sedikit pun tidak tersentuh air.
Semula Gajah Merik berniat kembali ke istana, namun ketika sampai di
Danau Tes, ia berubah pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah
Merik pun menyelam hingga ke dasar danau. Tidak berapa lama, ia pun
menemukan tempat persembunyian Raja Ular itu. Ia melihat sebuah gapura
di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir panjang, ia menuju
ke mulut gua itu. Namun, baru akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia
dihadang oleh dua ekor ular besar.
“Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” ancam
salah satu dari ular itu.
“Saya adalah Gajah Merik hendak membebaskan abangku,” jawab Gaja Merik
dengan nada menantang.
“Kamu tidak boleh masuk!” cegat ular itu.
Oleh karena Gajah Merik tidak mau kalah, maka terjadilah perdebatan
sengit, dan perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada awalnya, kedua
ular itu mampu melakukan perlawanan, namun beberapa saat kemudian mereka
dapat dikalahkan oleh Gajah Merik.
Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke
dalam. Setiap melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular
besar. Namun, Gajah Merik selalu menang dalam perkelahian.
Ketika akan melewati pintu ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar
suara tawa terbahak-bahak.
“Ha... ha... ha..., anak manusia, anak manusia!”
“Hei, Raja Ular! Keluarlah jika kau berani!” seru Gajah Merik sambil
mundur beberapa langkah.
Merasa ditantang, sang Raja Ular pun mendesis. Desisannya mengeluarkan
kepulan asap. Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi
seekor ular raksasa.
“Hebat sekali kau anak kecil! Tidak seorang manusia pun yang mampu
memasuki istanaku. Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu?” tanya Raja
Ular itu.
“Aku Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam,”
jawab Gajah Merik.
“Lepaskan abangku dan istrinya, atau aku musnahkan istana ini!” tambah
Gajah Merik mengancam.
“Ha... ha.... ha...., anak kecil, anak kecil! Aku akan melepaskan
abangmu, tapi kamu harus penuhi syaratku,” ujar Raja Ular.
“Apa syarat itu?” tanya Gajah Merik.
“Pertama, hidupkan kembali para pengawalku yang telah kamu bunuh. Kedua,
kamu harus mengalahkan aku,” jawab Raja Ular sambil tertawa
berbahak-bahak.
“Baiklah, kalau itu maumu, hei Iblis!” seru Gajah Merik menantang.
Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah
Merik segera mengusap satu per satu mata ular-ular yang telah dibunuhnya
sambil membaca mantra. Dalam waktu sekejap, ular-ular tersebut hidup
kembali. Raja Ular terkejut melihat kesaktian anak kecil itu.
“Aku kagum kepadamu, anak kecil! Kau telah berhasil memenuhi syaratku
yang pertama,” kata Raja Ular.
“Tapi, kamu tidak akan mampu memenuhi syarat kedua, yaitu mengalahkan
aku. Ha... ha... ha....!!!” tambah Raja Ular kembali tertawa
terbahak-bahak.
“Tunjukkanlah kesaktianmu, kalau kamu berani!” tantang Gajah Merik.
Tanpa berpikir panjang, Raja Ular itu langsung mengibaskan ekornya ke
arah Gajah Merik. Gajah Merik yang sudah siap segera berkelit dengan
lincahnya, sehingga terhindar dari kibasan ekor Raja Ular itu.
Perkelahian sengit pun terjadi. Keduanya silih berganti menyerang dengan
mengeluarkan jurus-jurus sakti masing-masing. Perkelahian antara
manusia dan binatang itu berjalan seimbang.
Sudah lima hari lima malam mereka berkelahi, namun belum ada salah satu
yang terkalahkan. Ketika memasuki hari keenam, Raja Ular mulai kelelahan
dan hampir kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh
Gajah Merik. Ia terus menyerang hingga akhirnya Raja Ular itu terdesak.
Pada saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan selendangnya yang
telah menjelma menjadi pedang ke arah perut Raja Ular.
“Aduuuhh... sakiiit!” jerit Raja Ular menahan rasa sakit.
Melihat Raja Ular sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa
langkah untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular itu tiba-tiba kembali
menyerangnya.
“Kamu memang hebat, anak kecil! Saya mengaku kalah,” kata Raja Ular.
Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun segera membebaskan abangnya dan
Putri Jinggai yang dikurung dalam sebuah ruangan.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano beserta seluruh keluarga
istana dilanda kecemasan. Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga
kembali dari pertapaannya. Oleh karena itu, sang Raja memerintahkan
beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes. Namun,
sebelum para hulubalang itu berangkat, tiba-tiba salah seorang
hulubalang yang ditugaskan menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes
datang dengan tergesa-gesa.
“Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri
Jinggai,” lapor hulubalang.
“Ah, bagaimana mungkin? Bukankah Gajah Merik sedang bertapa di Tepat
Topes?” tanya baginda heran.
“Ampun, Baginda! Kami yang sedang berjaga-jaga di danau itu juga
terkejut, tiba-tiba Gajah Merik muncul dari dalam danau bersama Gajah
Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, seusai bertapa selama tujuh hari tujuh
malam, Gajah Merik langsung menuju ke istana Raja Ular dan berhasil
membebaskan Gajah Meram dan Putri Jinggai,” jelas hulubalang itu.
“Ooo, begitu!” jawab sang Raja sambil tersenyum.
Tidak berapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai
datang dengan dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas menjaga
tempat pemandian itu. Kedatangan mereka disambut gembira oleh sang Raja
beserta seluruh keluarga istana.
Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik menyebar ke
seluruh pelosok negeri dengan cepat. Untuk menyambut keberhasilan itu,
sang Raja mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu,
sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram. Namun, Gajah
Meram menolak penyerahan kekuasaan itu.
“Ampun, Ayahanda! Yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah
Gajah Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini, dan dia juga
yang telah menyelamatkan Ananda dan Putri Jinggai,” kata Gajah Meram.
“Baiklah, jika kamu tidak keberatan. Bersediakah kamu menjadi raja,
Putraku?” sang Raja kemudian bertanya kepada Gajah Merik.
“Ampun, Ayahanda! Ananda bersedia menjadi raja, tapi Ananda mempunyai
satu permintaan,” jawab Gajah Merik memberi syarat.
“Apakah permintaanmu itu, Putraku?” tanya sang Raja penasaran.
“Jika Ananda menjadi raja, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular dan
pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan ini?” pinta Gajah Merik.
Permintaan Gajah Merik dikabulkan oleh sang Raja. Akhirnya, Raja Ular
yang telah ditaklukkannya diangkat menjadi hulubalang Kerajaan Kutei
Rukam.
Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang
Ular Kepala Tujuh. Ular tersebut dipercayai oleh masyarakat Lebong
sebagai penunggu Danau Tes. Sarangnya berada di Teluk Lem sampai di
bawah Pondok Lucuk. Oleh karena itu, jika melintas di atas danau itu
dengan menggunakan perahu, rakyat Lebong tidak berani berkata sembrono.
* * *
Demikian cerita Ular Kepala Tujuh dari Kabupaten Lebong, Provinsi
Bengkulu, Indonesia. Cerita rakyat di atas termasuk kategori cerita
legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat rendah hati
dan tahu diri.
Pertama, sifat rendah hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah
Merik. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah pamer dan
menyombongkan diri. Sifat ini dapat memupuk ikatan tali persaudaraan.
Sebagaimana dikatakan dalam untaian syair berikut ini:
wahai ananda kekasih bunda,
janganlah engkau besar kepala
rendahkan hati kepada manusia
supaya kekal tali saudara
Kedua, sifat tahu diri. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Meram.
Semestinya dialah yang berhak dinobatkan menjadi raja, namun karena
menyadari bahwa adiknya memiliki kesaktian yang lebih tinggi dari pada
dirinya, maka ia pun menyerahkan tampuk kekuasaan Kerajaan Kutei Rukam
kepada adiknya, Gajah Merik. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran
bahwa dengan memahami kekurangan dan kelebihan dirinya, seseorang akan
tahu menempatkan diri dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Dikatakan
dalam ungkapan Melayu:
apa tanda tahu dirinya:
hamba tahu akan Tuhannya
anak tahukan orang tuanya
raja tahukan daulatnya
alim tahukan kitabnya
hulubalang tahukan kuatnya
cerdik tahukan bijaknya
guru tahukan ilmunya
tua tahukan amanahnya
muda tahukan kurangnya
lebih tahukan kurangnya
(SM/sas/77/05-08)
Sumber:
* Isi cerita diadaptasi dari Prahana, Naim Emel. 1998. Cerita Rakyat
Dari Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo.
* Kredit to melayuonline.com, rejang-lebong.blogspot.com
siiiipppp
BalasHapusHahaha.. Kunei awal cerito coa gen de menyinggung dung ne o ade tujua ulau.. tapi ijai ba cerito ne dio.. salam tun jank.
BalasHapusgusman sonang
Sakoku dung ulau 7, ternyata munuak dung tujuak likup
BalasHapusHehehehehehe ijai ba si da gen ne bae crito. Mantap
Salam tun te jang : jayus talang leak
Sakoku dung ulau 7, ternyata munuak dung tujuak likup
BalasHapusHehehehehehe ijai ba si da gen ne bae crito. Mantap
Salam tun te jang : jayus talang leak
padek cerito kumu kuwat..salam tun jang..
BalasHapus