Rabu, 17 Oktober 2012

cerita rakyat rejang lebong ular berkepala 7 di danau tes

Legenda Ular Kepala Tujuh

Author: Naim Emel Prahana Alkisah, di sebuah daerah di Bengkulu, Indonesia, berdiri sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano. Raja Bikau Bermano mempunyai delapan orang putra. Pada suatu waktu, Raja Bikau Bermano melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jinggai. Mulanya, pelaksanaan upacara tersebut berjalan lancar. Namun, ketika Gajah Meram bersama calon istrinya sedang melakukan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket yang berada di tepi Danau Tes, tiba-tiba keduanya menghilang. Tidak seorang pun yang tahu ke mana hilangnya pasangan itu. Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano dan permaisurinya mulai cemas, karena Gajah Meram dan calon istrinya belum juga kembali ke istana. Oleh karena khawatir terjadi sesuatu terhadap putra dan calon menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa orang hulubalang untuk menyusul mereka. Alangkah terkejutnya para hulubalang ketika sampai di tepi danau itu tidak mendapati Gajah Meram dan calon istrinya. Setelah mencari di sekitar danau dan tidak juga menemukan mereka berdua, para hulubalang pun kembali ke istana. “Ampun, Baginda! Kami tidak menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai,” lapor seorang hulubalang. “Apa katamu?” tanya sang Raja panik. “Benar, Baginda! Kami sudah berusaha mencari di sekitar danau, tapi kami tidak menemukan mereka,” tambah seorang hulubalang lainnya sambil memberi hormat. “Ke mana perginya mereka?” tanya sang Raja tambah panik. “Ampun, Baginda! Kami juga tidak tahu,” jawab para utusan hulubalang serentak. Mendengar jawaban itu, Raja Bikau Bermano terdiam. Ia tampak gelisah dan cemas terhadap keadaan putra dan calon menantunya. Ia pun berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih. “Bendahara! Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana sekarang juga!” titah sang Raja kepada bendahara. “Baik, Baginda!” jawab bendahara sambil memberi hormat. Beberapa saat kemudian, seluruh hulubalang dan keluarga istana berkumpul di ruang sidang istana. “Wahai, rakyatku! Apakah ada di antara kalian yang mengetahui keberadaan putra dan calon menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano. Tidak seorang pun peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana sidang menjadi hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang tun tuai (orang tua) kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri yang juga hadir angkat bicara. “Hormat hamba, Baginda! Jika diizinkan, hamba ingin mengatakan sesuatu.” “Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan putraku dan Putri Jinggai?” tanya sang Raja penasaran. “Ampun, Baginda! Setahu hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes,” jawab tun tuai itu sambil memberi hormat. “Raja Ular itu sangat sakti, tapi licik, kejam dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes,” tambahnya. “Benarkah yang kamu katakan itu, Tun Tuai?” tanya sang Raja. “Benar, Baginda!” jawab tun tuai itu. “Kalau begitu, kita harus segera menyelamatkan putra dan calon menantuku. Kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan ini,” ujar sang Raja. “Tapi bagaimana caranya, Baginda?” tanya seorang hulubalang. Sang Raja kembali terdiam. Ia mulai bingung memikirkan cara untuk membebaskan putra dan calon menantunya yang ditawan oleh Raja Ular di dasar Danau Tes. “Ampun, Ayahanda!” sahut Gajah Merik, putra bungsu raja. “Ada apa, Putraku!” jawab sang Raja sambil melayangkan pandangannya ke arah putranya. “Izinkanlah Ananda pergi membebaskan abang dan istrinya!” pinta Gaja Merik kepada ayahandanya. Semua peserta sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putranya yang baru berumur 13 tahun itu memiliki keberanian yang cukup besar. “Apakah Ananda sanggup melawan Raja Ular itu?” tanya sang Raja. “Sanggup, Ayahanda!” jawab Gajah Merik. “Apa yang akan kamu lakukan, Putraku? Abangmu saja yang sudah dewasa tidak mampu melawan Raja Ular itu,” ujar sang Raja meragukan kemampuan putra bungsunya. “Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada Ayahanda, Ibunda, dan seluruh yang hadir di sini. Sebenarnya, sejak berumur 10 tahun hampir setiap malam Ananda bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajari Ananda ilmu kesaktian,” cerita Gajah Merik. Mendengar cerita Gajah Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap putra bungsunya yang sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah memamerkannya kepada orang lain, termasuk kepada keluarganya. “Tapi, benarkah yang kamu katakan itu, Putraku?” tanya sang Raja. “Benar, Ayahanda!” jawab Gajah Merik. “Baiklah! Besok kamu boleh pergi membebaskan abangmu dan istrinya. Tapi, dengan syarat, kamu harus pergi bertapa di Tepat Topes untuk memperoleh senjata pusaka,” ujar sang Raja. “Baik, Ayahanda!” jawab Gajah Merik. Keesokan harinya, berangkatlah Gajah Merik ke Tepat Topes yang terletak di antara ibu kota Kerajaan Suka Negeri dan sebuah kampung baru untuk bertapa. Selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi, tidak makan dan tidak minum. Usai melaksanakan tapanya, Gajah Merik pun memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris pusaka itu mampu membuat jalan di dalam air sehingga dapat dilewati tanpa harus menyelam. Sementara selendang itu dapat berubah wujud menjadi pedang. Setelah itu, Gajah Merik kembali ke istana dengan membawa kedua pusaka itu. Namun, ketika sampai di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa prajurit istana sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka Negeri. Oleh karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil memegang keris pusakanya. Ia heran karena seakan-seakan berjalan di daratan dan sedikit pun tidak tersentuh air. Semula Gajah Merik berniat kembali ke istana, namun ketika sampai di Danau Tes, ia berubah pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun menyelam hingga ke dasar danau. Tidak berapa lama, ia pun menemukan tempat persembunyian Raja Ular itu. Ia melihat sebuah gapura di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir panjang, ia menuju ke mulut gua itu. Namun, baru akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar. “Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” ancam salah satu dari ular itu. “Saya adalah Gajah Merik hendak membebaskan abangku,” jawab Gaja Merik dengan nada menantang. “Kamu tidak boleh masuk!” cegat ular itu. Oleh karena Gajah Merik tidak mau kalah, maka terjadilah perdebatan sengit, dan perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada awalnya, kedua ular itu mampu melakukan perlawanan, namun beberapa saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik. Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Setiap melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. Namun, Gajah Merik selalu menang dalam perkelahian. Ketika akan melewati pintu ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar suara tawa terbahak-bahak. “Ha... ha... ha..., anak manusia, anak manusia!” “Hei, Raja Ular! Keluarlah jika kau berani!” seru Gajah Merik sambil mundur beberapa langkah. Merasa ditantang, sang Raja Ular pun mendesis. Desisannya mengeluarkan kepulan asap. Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi seekor ular raksasa. “Hebat sekali kau anak kecil! Tidak seorang manusia pun yang mampu memasuki istanaku. Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu?” tanya Raja Ular itu. “Aku Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam,” jawab Gajah Merik. “Lepaskan abangku dan istrinya, atau aku musnahkan istana ini!” tambah Gajah Merik mengancam. “Ha... ha.... ha...., anak kecil, anak kecil! Aku akan melepaskan abangmu, tapi kamu harus penuhi syaratku,” ujar Raja Ular. “Apa syarat itu?” tanya Gajah Merik. “Pertama, hidupkan kembali para pengawalku yang telah kamu bunuh. Kedua, kamu harus mengalahkan aku,” jawab Raja Ular sambil tertawa berbahak-bahak. “Baiklah, kalau itu maumu, hei Iblis!” seru Gajah Merik menantang. Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah Merik segera mengusap satu per satu mata ular-ular yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra. Dalam waktu sekejap, ular-ular tersebut hidup kembali. Raja Ular terkejut melihat kesaktian anak kecil itu. “Aku kagum kepadamu, anak kecil! Kau telah berhasil memenuhi syaratku yang pertama,” kata Raja Ular. “Tapi, kamu tidak akan mampu memenuhi syarat kedua, yaitu mengalahkan aku. Ha... ha... ha....!!!” tambah Raja Ular kembali tertawa terbahak-bahak. “Tunjukkanlah kesaktianmu, kalau kamu berani!” tantang Gajah Merik. Tanpa berpikir panjang, Raja Ular itu langsung mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. Gajah Merik yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya, sehingga terhindar dari kibasan ekor Raja Ular itu. Perkelahian sengit pun terjadi. Keduanya silih berganti menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus sakti masing-masing. Perkelahian antara manusia dan binatang itu berjalan seimbang. Sudah lima hari lima malam mereka berkelahi, namun belum ada salah satu yang terkalahkan. Ketika memasuki hari keenam, Raja Ular mulai kelelahan dan hampir kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Merik. Ia terus menyerang hingga akhirnya Raja Ular itu terdesak. Pada saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan selendangnya yang telah menjelma menjadi pedang ke arah perut Raja Ular. “Aduuuhh... sakiiit!” jerit Raja Ular menahan rasa sakit. Melihat Raja Ular sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular itu tiba-tiba kembali menyerangnya. “Kamu memang hebat, anak kecil! Saya mengaku kalah,” kata Raja Ular. Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun segera membebaskan abangnya dan Putri Jinggai yang dikurung dalam sebuah ruangan. Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano beserta seluruh keluarga istana dilanda kecemasan. Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga kembali dari pertapaannya. Oleh karena itu, sang Raja memerintahkan beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes. Namun, sebelum para hulubalang itu berangkat, tiba-tiba salah seorang hulubalang yang ditugaskan menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes datang dengan tergesa-gesa. “Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai,” lapor hulubalang. “Ah, bagaimana mungkin? Bukankah Gajah Merik sedang bertapa di Tepat Topes?” tanya baginda heran. “Ampun, Baginda! Kami yang sedang berjaga-jaga di danau itu juga terkejut, tiba-tiba Gajah Merik muncul dari dalam danau bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, seusai bertapa selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik langsung menuju ke istana Raja Ular dan berhasil membebaskan Gajah Meram dan Putri Jinggai,” jelas hulubalang itu. “Ooo, begitu!” jawab sang Raja sambil tersenyum. Tidak berapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai datang dengan dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas menjaga tempat pemandian itu. Kedatangan mereka disambut gembira oleh sang Raja beserta seluruh keluarga istana. Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan cepat. Untuk menyambut keberhasilan itu, sang Raja mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram. Namun, Gajah Meram menolak penyerahan kekuasaan itu. “Ampun, Ayahanda! Yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah Gajah Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini, dan dia juga yang telah menyelamatkan Ananda dan Putri Jinggai,” kata Gajah Meram. “Baiklah, jika kamu tidak keberatan. Bersediakah kamu menjadi raja, Putraku?” sang Raja kemudian bertanya kepada Gajah Merik. “Ampun, Ayahanda! Ananda bersedia menjadi raja, tapi Ananda mempunyai satu permintaan,” jawab Gajah Merik memberi syarat. “Apakah permintaanmu itu, Putraku?” tanya sang Raja penasaran. “Jika Ananda menjadi raja, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular dan pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan ini?” pinta Gajah Merik. Permintaan Gajah Merik dikabulkan oleh sang Raja. Akhirnya, Raja Ular yang telah ditaklukkannya diangkat menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam. Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang Ular Kepala Tujuh. Ular tersebut dipercayai oleh masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Sarangnya berada di Teluk Lem sampai di bawah Pondok Lucuk. Oleh karena itu, jika melintas di atas danau itu dengan menggunakan perahu, rakyat Lebong tidak berani berkata sembrono. * * * Demikian cerita Ular Kepala Tujuh dari Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Indonesia. Cerita rakyat di atas termasuk kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat rendah hati dan tahu diri. Pertama, sifat rendah hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Merik. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah pamer dan menyombongkan diri. Sifat ini dapat memupuk ikatan tali persaudaraan. Sebagaimana dikatakan dalam untaian syair berikut ini: wahai ananda kekasih bunda, janganlah engkau besar kepala rendahkan hati kepada manusia supaya kekal tali saudara Kedua, sifat tahu diri. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Meram. Semestinya dialah yang berhak dinobatkan menjadi raja, namun karena menyadari bahwa adiknya memiliki kesaktian yang lebih tinggi dari pada dirinya, maka ia pun menyerahkan tampuk kekuasaan Kerajaan Kutei Rukam kepada adiknya, Gajah Merik. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa dengan memahami kekurangan dan kelebihan dirinya, seseorang akan tahu menempatkan diri dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam ungkapan Melayu: apa tanda tahu dirinya: hamba tahu akan Tuhannya anak tahukan orang tuanya raja tahukan daulatnya alim tahukan kitabnya hulubalang tahukan kuatnya cerdik tahukan bijaknya guru tahukan ilmunya tua tahukan amanahnya muda tahukan kurangnya lebih tahukan kurangnya (SM/sas/77/05-08) Sumber: * Isi cerita diadaptasi dari Prahana, Naim Emel. 1998. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo. * Kredit to melayuonline.com, rejang-lebong.blogspot.com

Rabu, 10 Oktober 2012

 

KATA-KATA MOTIPASI

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita

adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba

itulah kita menemukan dan belajar membangun

kesempatan untuk berhasil. 

Anda hanya dekat dengan mereka yang anda

sukai. Dan seringkali anda menghindari orang

yang tidak tidak anda sukai, padahal dari dialah

Anda akan mengenal sudut pandang yang baru. 

Tinggalkanlah kesenangan yang menghalangi

pencapaian kecemerlangan hidup yang di

idamkan. Dan berhati-hatilah, karena beberapa

kesenangan adalah cara gembira menuju

kegagalan.

Jika anda sedang benar, jangan terlalu berani dan

bila anda sedang takut, jangan terlalu takut.

Karena keseimbangan sikap adalah penentu

ketepatan perjalanan kesuksesan anda. 

Jangan menolak perubahan hanya karena anda

takut kehilangan yang telah dimiliki, karena

dengannya anda merendahkan nilai yang bisa

anda capai melalui perubahan itu.

Anda tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila

anda berkeras untuk mempertahankan cara-cara

lama anda. Anda akan disebut baru, hanya bila

cara-cara anda baru.

Ketepatan sikap adalah dasar semua ketepatan.

Tidak ada penghalang keberhasilan bila sikap

anda tepat, dan tidak ada yang bisa menolong

bila sikap anda salah.

Orang lanjut usia yang berorientasi pada

kesempatan adalah orang muda yang tidak

pernah menua ; tetapi pemuda yang berorientasi

pada keamanan, telah menua sejak muda.

Hanya orang takut yang bisa berani, karena

keberanian adalah melakukan sesuatu yang

ditakutinya. Maka, bila merasa takut, anda akan

punya kesempatan untuk bersikap berani.

Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan

stress adalah kemampuan memilih pikiran yang

tepat. Anda akan menjadi lebih damai bila yang

anda pikirkan adalah jalan keluar masalah.

Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui

mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan

tuntunan kebaikan tanpa mengetahui keburukan

yang kemudian anda dapat.

Seseorang yang menolak memperbarui cara-cara

kerjanya yang tidak lagi menghasilkan, berlaku

seperti orang yang terus memeras jerami untuk

mendapatkan santan.

Bila anda belum menemukan pekerjaan yang sesuai

dengan bakat anda, bakatilah apapun pekerjaan

anda sekarang. Anda akan tampil secemerlang

yang berbakat.

Kita lebih menghormati orang miskin yang berani

daripada orang kaya yang penakut. Karena

sebetulnya telah jelas perbedaan kualitas masa

depan yang akan mereka capai.

Jika kita hanya mengerjakan yang sudah kita

ketahui, kapankah kita akan mendapat

pengetahuan yang baru ? Melakukan yang belum

kita ketahui adalah pintu menuju pengetahuan.

Jangan hanya menghindari yang tidak mungkin.

Dengan mencoba sesuatu yang tidak

mungkin,anda akan bisa mencapai yang terbaik

dari yang mungkin anda capai.

Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup

adalah membiarkan pikiran yang cemerlang

menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang

mendahulukan istirahat sebelum lelah.

Bila anda mencari uang, anda akan dipaksa

mengupayakan pelayanan yang terbaik.

Tetapi jika anda mengutamakan pelayanan yang

baik, maka andalah yang akan dicari uang.

Waktu ,mengubah semua hal, kecuali kita. Kita

mungkin menua dengan berjalanannya waktu,

tetapi belum tentu membijak. Kita-lah yang harus

mengubah diri kita sendiri.